Frontliner feat Nikah Sudah (Harus) Dekat

Halo, sudah lama tidak menulis di blog. Sekalinya menulis malam-malam. Malam-malam yang diomongin malah BPJS. Kayaknya nggak banget deh. Hehe.

Tetapi sebagaimana Pak Kacab di kantor pernah berkata, “Memang BPJS sedang seksi untuk diperbincangkan.” Maka tak ada salahnya, kalau di blog ini, saya pun cuap-cuapnya masalah BPJS Kesehatan yang konon kabarnya penuh masalah. Ah, yang bener? Iyah bener. Ya bener sih, layaknya anak yang usianya baru 1 tahunan, sedang lasak-lasaknya banyak yang gemes kesel tapi banyak juga yan gemes sayang.

Perkenalkan aku berprofesi sebagai petugas frontliner, garda terdepan (yang kurang cantik dan cadel. Heheuu). Saya tidak tahu dengan pertimbangan apa saya pada akhirnya ditempatkan juga di bagian kepesertaan. Bertugas melayani peserta yang aduhai banyak sekali macam ragam sikap dan sifatnya. Mulai dari peserta yang sangat rendah hati sekali sampai kepada yang tinggi hati tinggi-tinggi sekali. Mulai dari peserta yang sangat kurang sekali tingkat pendidikannya sampai seorang profesor yang sempat-sempatnya nanya password wifi kantor (lha saya gag sendiri gag tahu password wifi kantor). Mulai dari peserta dengan baju melekat ala kadarnya sampai peserta dengan cincin emas di semua jari, gelang emas di kedua tangan, kalung emas, dan tas yang juga berwarna emas. Mulai dari peserta yang paling manut meskipun kita ada khilaf salah informasi sampai peserta yang ngotot meskipun kita sudah sangat benar dan valid dalam penyampaian informasi. Macam-macam sekali jenisnya, profesinya, jabatannya, tingkat pendidikannya, tingkat ekonomi sosialnya, tingkat pemahamannya, dan tingkat-tingkat lainnya.

Dua orang dengan masalah yang sama : kartu BPJS hilang, datang ke kantor. Setiap penggantian kartu hilang harus melampirkan surat keterangan hilang dari kepolisian. Yang satu mantan napi, yang satu lagi polisi beneran. Kasus sama. Tetapi tanggapan berbeda. Yang mantan napi dengan taat hukum mematuhi untuk mengurus surat kehilangan dari kepolisian. Yang polisi beneran ogah urus-urus surat, kan dia juga polisi, masa’ harus urus surat dari polisi? Esoknya, terjadi kembali kasus yang sama, orang berbeda, tetapi kondisi sama. Dua orang datang ke kantor : kartu BPJS hilang. Yang satu mantan napi, yang satu lagi polisi beneran. Yang polisi beneran manut memahami administrasi dan segera ngacir ke kantor polisi terdekat. Yang mantan napi menolak harus berurusan dengan polisi alih-alih malah mengancam petugas akan dibeginikan dan dibegitukan karena pengurusan surat hilang dianggap memperibet urusan. See…! Kasus sama, kondisi sama, profesinya pun sama, tapi karena manusianya berbeda, berbeda-beda pula ceritanya. Sementara prosedur administrasi tetaplah prosedur baku yang apapun kondisinya/kasusnya/profesinya/manusianya/ceritanya, prosedur administrasinya ya akan begitu juga. Ini menjadi tantangan terberat untuk semua petugas frontliner, apalagi frontliner BPJS Kesehatan yang pesertanya rupa-rupa macam ragamnya.

Beberapa kali pernah peserta tuna rungu datang ke kantor, sendirian, tapi masih bisa mengeluarkan suara. Bahagia rasanya karena komunikasi dalam bahasa isyarat dengan cara masing-masing dapat ditangkap dan disampaikan. Pernah pula peserta tuna netra datang ke kantor bersama istrinya yang tuna rungu, pernikahan mereka tanpa anak sehingga apa-apa harus dilakukan seiring berdua. Pernah pula seorang bapak-bapak tua yang pendengarannya mulai berkurang datang ke kantor bersama tukang ojek perempuan yang ternyata tuna wicara. Sulit sekali ketika itu memberi pemahaman. Bapak tua itu salah kantor, kartu taspennya hilang sehingga tidak bisa mengambil pensiunan bulanan, ia datang ke kantor BPJS Kesehatan membawa surat keterangan hilang. Kami menyampaikan kalau beliau salah alamat, tapi beliau tidak mau tahu, marah-marah dan bilang dia sudah susah-susah kemari dengan ongkos ojek yang mahal, tolong diganti saja kartunya yang hilang. Bagaimanalah akal kami, kartu taspen yang hilang tentu tak bisa diurus di BPJS. Alhasil, satpam kantor yang mengantar bapak tersebut ke kantor taspen sekaligus penyampai pesan kepada petugas khawatir kalau Bapak tersebut salah-salah komunikasi lagi.

Suatu hari ada peserta salah paham. Yang mengurus pertama kali istrinya, istri beliau setelah melakukan pembayaran ke Bank, pulang ke rumah. Ia menunggu-nunggu, sudah 1 minggu, 2 minggu,  1 bulan, 2 bulan, 3 bulan kenapa belum juga dapat kartu BPJSnya. Suaminya marah-marah datang ke kantor, kenapa kartunya belum juga terbit padahal sudah bayar sampai 3 bulan. Bapak ini (dan istrinya) jelas-jelas salah kaprah. Karena semestinya, setelah 7 hari pembayaran ke Bank, sang istri/peserta datang ke kantor untuk menjemput kartu. Istri beliau sepertinya tidak fokus dan menganggap bahwa kartu akan diantar ke rumah 7 hari setelah pembayaran. Lebih tidak fokus lagi karena ternyata semua berkas-berkas pendaftaran justru ditinggal di Bank dan bukti pembayaran entah dimana dicecer. Kami menyampaikan bahwa mungkin istri beliau salah kaprah. Suaminya ini malah emosi kena kata ‘salah’. “Ini bukan urusan salah-salah kaprah. Saya sudah bayar 3 bulan. Kartunya tidak ada. Sekarang mana kartu saya?” Kami nyaris hilang akal. Bagaimana pula kartu bisa diberikan jika berkas administrasi tidak dikembalikan dan bukti pembayaran tidak ada. Beliau juga datag dalam kondisi sangat emosional. Persoalan-persoalan demikian jika petugas frontlinernya sudah kehabisan kata, peserta ditawari untuk bertemu langsung dengan pimpinan. Kondisi ini sangat membantu untuk menyelamatkan emosi sang frontliner agar tidak terjadi “cakak banyak”. Eh rupa-rupanya Bapak ini menolak bertemu pimpinan. “Saya tidak ingin bertemu pimpinan! Saya maunya bicara sama kamu. Kamu tidak becus melayani peserta!!!”. Ya sudah, nyaris setengah jam kami melayani beliau dengan cara mendengarkan marah-marah beliau. Lalu pergi sambil mengumpat, bilang “BPJS xxxx, gag usah berobat pakai BPJS.” Yang kartu, beliau sudah lelah marah, kartu tak juga didapat. Mau bagaimana, syarat-syarat tak lengkap (bahkan tidak ada sama sekali). Waktu itu kami pikir, mungkin beliau juga sudah marah-marah pula pada istrinya, dan kami kecipratan marah-marah sisanya. Selang 3 hari kemudian, beliau datang lagi membawa semua berkas (yang mungkin sudah dijemput ke Bank) + bukti setoran. Beliau datang tanpa beban, tanpa marah-marah, tanpa malu-malu, kartunya pun dengan selamat sentosa diberikan. Kami pun memberikan senyuman, harus melupakan bahwa 3 hari yang lalu ia pernah mengumpat dan bersumpah tidak akan pakai BPJS.

Datang seorang dokter, ia mengurus pindah faskes kepesertaan PNS orangtuanya. Dengan leher agak tegak, ia berkata, “Selama ini orangtua saya ndak pernah pakai-pakai kartu Askes ini, selalu berobat dengan saya.” Saya jadi kepo juga. “Sekarang gimana bu?”. Ia menjawab, “sekarang karena mau pindah ke dokter keluarga, makanya dipakai.” Saya ber-ooh,  meski tak paham betul sinkronisasi jawaban dengan pertanyaan saya tadi, tapi saya malas melanjutkan kepo. Kartunya dengan cepat dipindahkan ke dokter keluarga yang ia maksud. Kemudian ia bertanya lagi, “Adek saya mau urus BPJS, kami satu KK, saya masih harus urus juga?”. Saya jawab singkat dengan kalimat standar, “Ya Bu, sesuai dengan jumlah anggota keluarga di dalam KK.” Beliau menarik napas dalam untuk memulai nada suara dan leher yang agak lebih tinggi, “Saya kan dokter, buat apa saya urus BPJS ini, saya kan bisa mengobati diri saya sendiri.” Saya tersenyum, kemudian memaparkan prinsip gotong royong/subsidi dalam JKN. “Jadi, meskipun ibu tidak merasa butuh kartu BPJS, tetapi adik ibuk membutuhkan ibu untuk ikut dalam subsidi biaya pelayanan kesehatannya. Anggota keluarga yang tidak sakit membantu yang sakit,” tutup saya. Tapi beliau belum mau menutup, ngotot tidak akan mau mendaftar. Kami lagi-lagi harus tersenyum menghadapi tipe-tipe calon peserta seperti ini. “Tidak apa-apa kalau ibu tidak mau, artinya adik ibu juga tidak perlu mendaftar BPJS karena ada anggota keluarganya yang tidak bersedia terdaftar sebagai peserta. Lagipula, ibu kan dokter, adik ibu bisa berobat dengan ib…” terpotong kalimat saya ketika beliau menyela, “Adik saya itu nggak mau berobat sama saya, dia maunya sama dokter lain, dokter yang terima BPJS ini.” Saya terdiam. Kehilangan kata. Beliau pun pergi sambil mendengus. Tepat esoknya, saya entry data peserta yang wajah di fotocopy KTPnya mirip sekali dengan ibu dokter kemarin. Saya sampai pada pengecekan berkas KK. Ketemulah masalahnya. Yang datang ini adik beliau, datang untuk mendaftarkan dirinya dengan kakaknya. Kakaknya inilah Bu Dokter kemarin yang secara iseng tak sengaja mau tak mau saya harus entri “Belum Kawin” pada status pernikahan sesuai dengan data di KK dan KTPnya. Oh, baiklah, dengan sikap begitu pada usia segitu dengan status yang begitu, tak salah juga jika sang adik tidak mau berobat dengan kakaknya sendiri. Astaghfirullah, saya tak mau di masa tua jadi “menyebalkan”. Abaaaaang caloooon suaaaamiii, cepatlah memunculkan diri… (Handeeeh, out of topic)

Banyak suka dukanya menjadi petugas frontliner, bertemu dengan banyak macam ragam orang. Belajar bersabar, empati, dan solutif menghadapi peserta. Belajar proaktif dan inovatif menyelesaikan masalah keluhan dan pengaduan. Belajar efisiensi waktu dan bagi waktu dengan rekan kerja denga kata lain irit waktu makan siang karena harus ganti-gantian dengan rekan kerja lain agar tidak terjadi penumpukan antrian yang lebih panjang. Belajar banyak hal.

Meski dalam tulisan ini mayoritas diceritakan dukanya, tapi sukanya macam-macam pula. Tentang peserta yang tiba-tiba ngundang makan syukuran karena operasi beliau lancar. Tentang peserta yang nelpon tengah malam hanya untuk mengucapkan terima kasih kepada BPJS. Tentang dokter yang merasa lebih luas dan lapang dalam memberikan pelayanan kepada peserta tanpa harus ikut memikirkan berapa biaya  yang harus dikeluarkan oleh pasien. Tentang para PNS yang bersorak girang karena anak yang ditanggung BPJS sudah sampai anak ke-3 (sebelumnya Askes hanya anak ke-2),  tentang Bapak-bapak yang senang sekali pasang cincin jantung gratis sampai ke Jakarta tanpa sepeserpun biaya, tentang puskesmas yang setiap sabtu ramai oleh ibu-ibu yang senam, tentang asuransi swasta yang tertolong biaya tersebab klaim peserta yang menurun, tentang lab pratama yang akhirnya dikenal luas karena peserta BPJS medical check up gratis di lab mereka dengan dibayar oleh BPJS, dan seterusnya dan seterusnya.

Well, lebih panjang lagi kisah suka dukanya frontliner, tapi saya mendadak galau gegara paragraf keempat terakhir. Allah, dekatkanlah dan mudahkanlah hamba untuk segera bertemu dengan jodoh hamba sehingga kami bisa saling berbagi bersama. Hiks. Nikah sudah (harus) dekat.

#semangat #optimis #nikahsudahdekat

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.