Seperti Orang Ketinggalan Pesawat

#LastCall6

“Awaaaas……!,”

saya lupa siapa yang teriak diantara kami. Mobil yang kami tumpangi baru saja menabrak sesuatu. Seekor hewan? Mungkin. Sebuah benda? Mungkin juga. “Astaghfirullah, Ya Allah tadi itu apa?” tanyaku, takut. Rina mengucapkan sesuatu yang tak jelas dalam pendengaranku, mungkin ekspresi gusar dan takut yang sama. “Sudah, jangan dibahas,” begitu kata teman kami dari UNHAS yang mengendarai mobil berkecepatan tinggi itu. Ya, ia harus fokus pada urusan mengendarainya. Ocehan kami hanya mengganggu konsentrasi mengemudi berkecepatan tinggi itu.

Kami sampai di bandara. Ah ya, saya lupa ceritakan. Tiket penerbangan Sriwijaya rute UPG-SOQ dini hari itu tak hanya tiket kami berlima, ada 3 tiket delegasi dari Palu yang juga transit Makassar di tangan saya. Begitu turun mobil seseorang yang menunggu di bandara menghampiri saya.

“Firman ya?” saya menyambarnya dengan pertanyaan.

Ia mengucapkan sesuatu yang tak jelas saya dengar. Saya mengulang pertanyaan.

“Firman ya?” Ia tak menjawab, malah mengucapkan sesuatu yang lainnya, mungkin basa-basi dulu, mungkin pertanyaan lain, mungkin bukan sedang bertanya, mungkin juga bukan sedang menjawab pertanyaan saya. Ah, mungkin bukan Firman. Saya tinggalkan Firman yang terduga itu begitu saja. Frieska dan Rina diminta menurunkan barang-barang. Ada 3 nama lagi yang harus diselamatkan prosedur check in-nya : Firman, Sherlina, dan Yayuk.

Dalam pikiran saya, 8 nama yang tertera dalam tiket ini harus segera terselamatkan prosedur check in nya. Saya masuk bandara tanpa membawa apa-apa selain handphone dan tiket. Dengan ini, saya tak berlama-lama melewati ruang X-Ray. Berhasil masuk bandara, saya memburu menuju counter check in Sriwijaya. Subhanallah, besarnya bandara Sultan Hasanuddin sempat membuat saya bengong sesaat mencari dimana kiranya posisi counter Sriwijaya. Saya menengok ke belakang sekilas dan melihat Alif dan Rofi baru saja tiba dan bersalaman dengan yang terduga Firman tadi.

Saya menemukan counter check in Sriwijaya. Bersyukur, karena masih ada orang yang berdiri mengalami keterlambatan yang sama. Saya check in.

“Mbak, ada bagasi?”

Astaga, saya lupa. Saya hanya pikirkan bagaimana supaya bisa check in. Tak terpikirkan bahwa check in disertai bagasi.

“Sebentar mbak,” saya berlari menuju pintu masuk bandara. Bersyukurnya Frieska dan Rina sudah berhasil membawa serta kelima koper kami masuk ke dalam bandara dengan tingkat kesulitan luar biasa. Tangan mereka cuma 4, koper ada 5. Saya menarik 1 koper dari tangan Rina, tak perlu troley. Rina berlari menyusul saya. Sesampai di counter check in, hanya ada 3 koper. Frieska mana?

“Rin, Frieska mana?”

“Gag tahu kak.”

Astaga.

“Rin, tunggu disini. Bilang sama mbak nya masih ada 2 koper lagi. Kakak cari Frieska.”

Saya berlari lagi ke arah pintu masuk dan menemukan Frieska sedang sibuk bersama seorang petugas bandara yang mengikat-ikat koper kami dengan tali berwarna kuning.

“Ya ampun, Frieska ngapain pake ginian,” sementara handphone saya berdering-dering.

“Kak, mbak bandaranya nungguin kak. Marah-marah. Frieska mana?” Rina di ujung telpon.

“Iya Rin, Frieska udah sama kakak.”

“Iya mbak nya marah-marah.” Saya melihat Rina yang memegang telpon berjalan melengong ke kanan kiri dengan cepat. Saya melambaikan tangan ke arahnya. Rina terhenti dan mematikan telponnya.

“Frieska, susul Rina ya.” Dua koper tadi sudah diikat rapi, Frieska segera berlari menuju Rina untuk segera ke counter check in. Mas petugas bandara yang berhasil menjaring Frieska tadi berdiri manis menunggu saya. Saya keluarkan juga dompet, membayarnya, masih kesal kenapa Frieska malah terperangkap mas ini.

Saya kembali menuju pintu, mencari Alif dan Rofi yang belum juga masuk bandara. Keduanya terperangkap di depan pintu masuk bandara. Alif memberi isyarat kepada saya dengan gerakan mulut, kira-kira begini. “GA BI-SA MA-SUK, GA A-DA TI-KET.”

Ya ampun, tanpa pikir saya berlari lagi ke arah counter check in. Tapi Alif tak bisa masuk. Tiket mereka dipegang kami. Saya berjalan ke arah pintu masuk. Berteriak menyampaikan ke petugas masuk bandara kalau tiket mereka berdua ada di kami. Masih tak bisa. Sampai saya berhasil mengulurkan tangan menyerahkan tiket dari dalam bandara ke arah Rofi di pintu bandara dan mereka akhirnya bisa masuk.

Sudah lengkap berlima di dalam bandara. Tapi petaka baru datang lagi. Tiga orang kawan kita dari Palu mana? Tiket mereka disini. Saya mengutus Alif dan Rofi keluar mencari yang bernama Firman, Sherlina, dan Yayuk. Rina dan Frieska ternyata menyampaikan petaka baru. “Kak, uangnya gag cukup untuk bayar boarding pass.” ujar Rina diujung telpon. Saya berhamburan lari ke tempat Rina dan Frieska berada, saya lupa menitipi mereka uang untuk bayar boarding pass. Apalagi pembayarannya harus dikali 8 orang. Sekilas saya melihat keluar bandara, Ilho dan beberapa teman UNHAS baru saja tiba di bandara.

Urusan check in dan boarding pass selesai. Tapi masih ada 3 orang lagi dalam tanggungan kami yang sampai sekarang tidak tahu berada dimana. Kami berlari-lari menuju gate sriwijaya, tapi memilih jalan memutar agar melewati pintu masuk bandara, mencari tahu keberadaan Alif dan Rofi serta tiga kawan lagi dari Palu.

Saya melihat Ilho di luar bandara bersalam-salaman dan mengobrol gembira dengan tiga orang yang belakangan diketahui adalah Firman, Sherlina, dan Yayuk. Alif dan Rofi sudah menuju pintu. “Ya ampun, pake ngobrol dulu, ini udah buru-buru,” batinku, tapi tak salah bila mereka bertegur sapa, justru seharusnya mereka saling bertegur sapa dulu. Saya meminta Frieska dan Rina berjalan duluan menemukan dimana gate sriwijaya. Saya memberi isyarat kepada Firman, Sherlina dan Yayuk agar buru-buru masuk, sekaligus melambai-lambaikan tangan tanda terima kasih kepada Ilho dan kawan-kawan UNHAS.

“Ayo cepat dek, kita udah telat,” teriak saya yang membuat mereka bergegas menyeret koper mereka masuk ke bandara.

Dalam kepanikan saya, seseorang yang berada dalam bandara sempat menenangkan, “Gag usah buru-buru mbak, ntar jatuh, pesawatnya nunggu kok.” Saya tersenyum, tak mampu mengeluarkan kata apapun untuk mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Firman lebih dulu masuk beriringan dengan Rofi dan Alif. Saya menyongsong mereka, menyampaikan kepada Firman bahwa mereka bertiga harus membawa masuk koper ke dalam kabin pesawat, karena sudah tidak bisa drop bagasi lagi. Sherlina dan Yayuk masih mengurusi koper untuk melewati Xray. Saya meminta Firman dan lainnya bergerak cepat menuju gate. Dalam pikiran saya, pesawat ini hanya sedang menunggu kami.

Saya berlari menyusul Rina dan Frieska yang sudah berada jauh masuk ke dalam bandara. Alif dan Rofi berjalan cepat  tapi masih mengimbangi untuk menunggu Firman. Firman menunggu dan kemudian membantu Sherlina dan Yayuk yang kerepotan mengurusi koper-koper mereka yang baru saja melewati mesin X-Ray. Kami berdelapan berlari-lari di dalam bandara seperti orang-orang yang…

…yang seperti orang-orang yang terancam ketinggalan pesawat.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.