KAMAR

 

KAMAR

Nilna R. Isna

Ia masuk ke kamar anak gadisnya. Kamar bercat warna-warni itu tertata rapi. Tempat tidur berada di sisi kanan dari tempatnya berdiri dan jendela berada di sisi kiri. Ada satu bantal dan satu guling di atas tempat tidur itu. Alas tempat tidur itu berwarna merah muda selaras dengan bantal dan gulingnya.

Ia duduk di atas tempat tidur anak gadisnya. Matanya memandang ke sekeliling kamar. Ada sesak terasa di dada. Pada dinding sebelah utara terbingkai besar sebuah kumpulan photo. Photo itu terdiri dari photo anak gadisnya bersama ia dan suami, photo anak gadisnya bersama teman-teman, photo anak gadisnya berlatarkan pemandangan-pemandangan indah, dan photo-photo orang-orang yang disayangi oleh anak gadisnya. Di photo berbingkai besar itu, hanya ada dua photo ia dan suaminya. Satu photo saat mereka photo bersama dan satu lagi photo pernikahannya. Selebihnya, berserakan photo-photo anak gadisnya dengan teman, dengan rekan, dengan semua orang.

Mata wanita itu beralih ke sisi yang lain. Masih terpajang dengan unik dan utuh, seragam SMA anak gadisnya yang sudah habis dicoret-coret. Ia pun ikut mencoret atau lebih tepatnya menulis di baju itu. Begitu juga dengan suaminya. Masih terkenang olehnya, anak gadisnya itu pulang dengan gembira ke rumah sambil membawa amplop pertanda ia lulus SMA. Baju yang dikenakannya rapi.  Namun kemudian, dengan takut-takut sang anak mengeluarkan baju bercoret-coret tinta warna-warni dan meminta kedua orangtuanya ikut menulis di bajunya.

Memang tak ada ekspresi berang darinya ataupun dari suaminya perihal keberanian anak gadisnya itu. Malam-malam sebelumnya, ia telah mewanti-wanti anaknya agar tak ikut mencoret baju seragam. “Aku tak izin kau pulang dengan seragam seperti gembel. Kalau kau tetap melakukan itu, aku tak jamin kau akan diizinkan masuk rumah oleh ayah,” ucapnya sehari sebelum pengumuman kelulusan. Entah mengapa, sore setelah amplop kelulusan itu diterima, ia dan suaminya ikut serta dalam euphoria kelulusan anak gadisnya. Meskipun sesungguhnya sang anak telah melanggar perintahnya.

Bagi anak gadisnya, tulisan di baju itu dianggap sebagai awal dari kebebasan. Sudah lama anak gadis satu-satunya itu ingin bebas mengekspresikan diri di kehidupan luar rumah. Maka baju bercoret itu dipajang di dalam kamar, selayaknya prasasti atau piagam penghargaan.

Sesak di dadanya makin terasa. Terutama saat melihat kamar yang tertata anggun dan rapi. Sudah lama ia tak berkunjung ke kamar ini. Dan dulu tatanannya tidak seperti ini. Rupanya, pada hari terakhir anak gadisnya menyisakan hari seharian penuh hanya untuk menata dan memperindah kamar bercat hijau, merah muda, dan kuning itu.

Dulu, ketika kamar ini setiap hari dimasuki anak gadisnya, sekali pun ia tak sudi masuk ataupun melengok ke kamar ini. Tak pernah bertahan satu hari saja kamar ini terlihat rapi. Selalu saja berserakan. Kertas-kertas bertebaran di mana-mana mulai dari tempat tidur hingga keset pintu kamar. Buku-buku tergeletak acak-acakan di lantai. Begitu juga dengan majalah dan surat kabar yang meskipun sudah basi tanggalnya tetap dibaca berulang-ulang. Pakaian yang baru saja kering tak lantas dilipat lalu diseterika melainkan dibiarkan berhari-hari di karpet yang berada persis di samping kiri lemari pakaian. Baju-baju kusut itu baru akan dilipat dan diseterika jika akan dikenakan. Tak jarang, anak gadisnya memilih memakai baju kusut saja.

Ia jelas nyinyir dengan kelakuan anak gadisnya. Jika tak untuk membangunkan sang anak untuk sholat Shubuh tentu tak akan pernah diketoknya pintu kamar itu. Ia akan nyinyir dan menggedor-gedor pintu dengan kasar jika sang anak belum juga beranjak dari tempat tidurnya dan membuka pintu lalu pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Hanya pada tiap pagi itulah ia mau melihat kondisi kamar anak gadisnya. Saat sang anak membukakan pintu lebar-lebar dan ia bisa barang sejenak menatap ke sekeliling. Dan setiap ia menatap itulah ia benci dengan anak gadisnya.

Pada hari-hari setelah anaknya tamat SMA, ketika anaknya memasuki bangku kuliah, kamar itu selalu terkunci dari pagi sampai senja. Pintu itu dikunci pagi-pagi sebelum ia berangkat kuliah dan baru akan dibuka lagi pada senja-senja hari, sebelum Magrib ataupun setelah Magrib.

Memasuki bangku kuliah, anak gadisnya paling jarang berdiam diri di rumah. Ia terpaksa menuruti keinginan anak gadisnya itu. Ia tak tahu pasti apa yang dilakukan anak gadisnya di luar. Tapi ia yakin apapun yang dilakukan anak gadisnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan kuliah. Sesuatu yang berhubungan dengan masa depannya. Keyakinan ini yang membuatnya memberikan kebebasan kepada anak gadisnya.

Mendapati dirinya diber kelonggaran waktu, anak gadisnya itu seperti benar-benar memanfaatkan hari. Setiap hari, termasuk Sabtu dan Minggu yang diketahui wanita itu sebagai hari libur kuliah, anak gadisnya itu tak pernah bertahan di rumah barang satu hari saja. Selalu saja keluyuran kemana-mana. Sempat ia curiga, anak gadisnya telah terbawa-bawa arus kefanaan dunia. Mungkin anak gadisnya telah lupa pada Tuhan, bahkan juga pada dirinya dan suaminya. Mungkin anak gadisnya tak ingat akan kegadisannya. Atau mungkin ia sudah tak gadis lagi?

Dan setiap ia harap-harap cemas menanti anak gadisnya di rumah pada senja-senja hari, pada saat itu pulalah anak gadisnya pulang mengetuk pintu rumah. Dan setiap ia membukakan pintu rumahnya, anak gadisnya masuk untuk segera pergi ke dapur, mencari segelas air, minum, duduk di kursi ruang tamu, kemudian bercerita pada ibunya. “Bu, sehari tadi sibuk sekali di kampus. Rapat sampai sore. Setelah ini aku harus bikin presentasi untuk tugas kelompok besok,” lapor anak gadisnya.

Wanita itu tak bernafsu bertanya lebih lanjut pada anak gadisnya. Laporan itu sudah cukup baginya untuk mengetahui kemana saja anaknya seharian tadi. Tak perlulah baginya jika itu berdusta ataupun kejadian yang sebenarnya.

Maka, setelah anak gadisnya itu mandi dan sholat Magrib. Tak berjumpa lagi ia dengan anak gadisnya itu, kecuali apabila ia melongokkan kepala ke kamar sang anak. Tapi sekalipun tak pernah dikerjakannya hal itu. Ia jijik melhat kamar anak gadisnya. Jika ia jijik dengan kamar itu, maka ia benci pada anaknya. Ia tak ingin membenci anaknya, maka tak pernah ditengoknya kamar itu.

Dari magrib hingga mendekati pukul sebelas malam, barulah ia berjumpa lagi dengan anaknya itu. Anak gadisnya akan langsung ke dapur sembari melihat sekilas tayangan televisi yang sedang ditontonnya. Dari dapur, ia beranjak ke ruang makan, makan malam di sana sendirian. Setelah rehat sejenak sehabis makan, anak gadisnya akan langsung ke kamar mandi, berwudhu, kemudian masuk kamar. Ia yakin anaknya sholat Isya di dalam kamarnya. Tapi setelah sholat itu, ia tak yakin apa yang kemudian dikerjakan oleh anaknya. Apakah langsung tidur atau melanjutkan tugas-tugasnya yang selalu berkutat dengan komputer.

Komputer, barang elektronik serupa mesin ketik ber-TV itu selalu saja berurusan dengan tugas-tugas anaknya. Jika dari luar kamar, ia selalu berteriak kepada anaknya ‘Apa yang sedang kamu kerjakan?!’, maka jawaban anaknya tak lepas dari ‘Membuat presentasi! Membuat makalah! Membuat proposal! Membuat laporan!’ dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain. Karena itulah, ia acap melihat anaknya keluar kamar sambil mengucek-ngucek mata atau mengeliat.

Tak jarang, demi untuk bertemu dengan anaknya semenit saja, agar sang anak keluar kamar, ia nyinyir dengan segala perintah-perintah yang menurut anak gadisnya tak masuk akal. Tak masuk akal karena sesungguhnya hal itu bisa dikerjakannya dengan mudah.

“Nak, tolong ambilkan ibu segelas air!,” teriaknya pada sang anak yang berada di kamar. Sementara ia berada di ruang tengah. Jika diukur, tentulah lebih dekat jaraknya dengan dapur daripada jarak anaknya dengan dapur. Tapi, demi melihat anaknya (atau mendengarkan suaranya saja), wanita itu rela dikata-katai oleh sang anak. “Ibu nggak liat? Aku sedang belajar. Ibu yang menyuruhku belajar dengan rajin. Tapi, ibu selalu saja mengangguku,” anak gadisnya menggerutu. Ia diam saja karena keinginannya untuk mendengar dan melihat anak gadisnya terkabulkan.

Demikianlah berhari-hari wanita itu dilingkupi kesendirian. Suaminya bekerja siang malam hingga hanya bisa bercengkrama dengannya setelah lewat malam. Anaknya kuliah dari pagi sampai malam hingga tak keluar-keluar kamar. Ia merasa hidup dalam kesepian. Meskipun di dalam rumahnya, juga tinggal seorang suami dan seorang anak gadis.

Tak apalah jika suaminya sering pulang malam untuk kehidupan finansial. Tapi untuk kesenangan batinnya, pada anak gadisnya lah ia berharap. Tapi selalu saja yang didapatkannya bantahan atau tangisan sang anak.

Ketika sudah habis kesabarannya dengan kesibukan tak tentu arah anak gadisnya, naik pitamlah ia. Ia sebutkan apa saja yang menurutnya bisa mengeluarkan suara anak gadisnya. Ia sebutkan segala macam hal yang bisa membuat anak gadisnya keluar kamar. Atau ia keraskan volume televisi yang akan membuat anak gadisnya mengeluh tertahan. “Bu, kecilkan sedikit volume televisinya. Aku sedang belajar.” Ia pun mengecilkan volume televisinya dengan senyum mengembang.

Tapi, ketika ia menonton televisi tiga malam kemarin, ia tak bisa menyuruh anak gadisnya untuk membelikan obat nyamuk ke warung. Anak gadisnya itu belum pulang juga. Sudah pukul 9 lewat 5. Suaminya juga tak pulang karena minggu ini tugas ke luar kota. Ia cemas menunggu anaknya. Ia raih telepon genggam, ia takut jika anaknya sedang di jalan terganggu oleh panggilan darinya. Maka, ia tunggu saja sambil mengganti-ganti chanel televisi. Sampai ia terlelap. Sampai pagi. Tapi anak gadisnya belum kembali.

Cemas merasuki dirinya. Ia telepon semua teman-teman anak gadisnya yang ia ketahui. Tapi tak satu orang pun teman anak gadisnya yang mengetahui di mana anak gadisnya itu berada. Ia telepon suami. Tapi, kata suaminya, anak gadisnya itu akan pulang dua atau tiga hari lagi. Tak lupa, suaminya berpesan bahwa ia akan pulang dua minggu lagi.

***

Aku bosan berada di rumah terus-terusan. Ibu selalu mengomel padaku. Selalu menganggu pekerjaanku. Aku heran dengan sikap ibu. Jika tidak aku kerjakan, aku dimarahinya. Jika aku kerjakan, aku pun dimarahinya. Lalu, apa mau ibuku?

Mungkin, ibu juga bosan melihatku. Ya, sudah. Aku kabur saja.

Ah ya, kamarku sudah kurapikan. Aku hanya ingin ibuku tahu aku juga bisa merapikan kamarku. Tapi, jika kamarku rapi, tentu aku tak ada di dalamnya. Kata ibuku, aku ini anak gadis paling tak rapi.

***

            Anak gadisku itu memang keterlaluan. Ia biarkan kamarnya berserakan. Ia biarkan dirinya sibuk dengan urusan-urusan di luar. Ia biarkan ibunya sendirian. Kini ia malah tak pulang. Istriku tentu cemas memikirkan keberadaannya. Tapi, jangankan istriku, aku pun sebenarnya cemas. Aku hanya tak ingin istriku bertambah kecemasannya jika aku menunjukkan kecemasanku.

“Halo, tolong hubungi polisi untuk mencari anakku. Ia tak pulang sejak malam kemarin. Istriku menunggunya di rumah. Aku sedang dinas keluar.”

***

Bu, jangan menangis. Anakmu pasti pulang. Coba lah kau lihat ke mari. Indah sekali bukan. Itu bukti bahwa ia sesungguhnya menyayangimu. Tak mungkin ia meninggalkanmu sendirian. Ia akan pulang. Ia pasti pulang.

Aku senang Ibu mengunjungiku hari ini. Aku pikir Ibu akan selalu memandang jijik padaku karena aku tak diurus anak gadismu. Aku juga senang tiga hari yang lalu, anak gadismu asyik membenahiku. Shubuh-shubuh ia bangun kemudian melakukan segalanya sampai pagi hingga aku indah seperti ini.

Tapi, setelah itu aku kesepian, Bu. Anakmu tak lagi masuk ke mari. Tiga hari aku kesepian. Aku geli ingin diobrak-abrik anakmu. Aku rindu mendengar irama ketikan komputer anakmu. Aku juga rindu sekali melihat wajah anak gadismu ketika Ibu menyurhnya mengerjakan ini itu. Aku akan tertawa terbahak-bahak. Wajah anak gadismu itu lucu sekali jika sedang kesal padamu.

***

Dadanya semakin sesak.

Tentang penulis :

Nilna R. Isna. Lahir di Padang, 31 Mei 1989. Sekarang kuliah di Kesehatan Masyarakat UNAND. Bergiat di Sanggar Sastra Citra Budaya Sumatera Barat. Cerpen berjudul “KAMAR” ini meraih penghargaan Pemenang Harapan Balai Bahasa Padang.

2 thoughts on “KAMAR

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.