Nyawaku Suara

Cerpen Nilna R. Isna terbit di Harian Haluan Minggu

Nyawaku Suara

Nilna R. Isna

Anak-anakku bertengkar hebat dengan anak-anaknya di dalam rumahku, di luar rumahku, dan di sebelahku. “Alia, sudah kukatakan padamu, jangan pulang lewat senja. Kamu ini wanita. Sekali lagi kamu pulang lewat senja, kutampar kau!” Itu anak tertuaku. Di luar rumah, ia melayangkan tangannya hendak menampar anaknya.

“Tapi Ayah, aku ke luar rumah bukan untuk main-main. Aku mencari ilmu, aku mencari wawasan, aku memang wanita tapi aku ingin berharga.”

“Harga apa yang kau minta? Dengan kebiasaanmu yang pulang lewat senja, kau justru lebih tidak berharga dari wanita-wanita yang tidak pernah mengecap sekolah sekali pun.”

“Ayah yang tidak pernah menghargai wanita. Ayah yang tidak pernah mau mengerti anaknya. Ayah yang menginginkan saya menjadi wanita terkemuka. Ketika saya tengah menjalani prosesnya, ayah malah membungkam saya, menyuruh saya menghentikan segala aktivitas saya. Ayah hanya butuh hasil. Tapi untuk mencapai hasil itu, saya butuh proses, Ayah.” Anaknya itu semakin memelas.

“Konsep yang kamu pakai itu salah. Salah besar. Kamu terlalu sombong untuk dibesarkan. Kamu sok tahu dengan separo hal yang baru saja kamu dapatkan. Kamu merasa dirimu terlalu hebat dari semua orang yang kau temui di seberang jalan.”

“Terserah Ayah, aku tetap menjadi aku.”

Anaknya itu masuk ke dalam rumah. Dengan dada ditegakkan dan sepatu ber-hak yang ditanggalkan. Ia menuju kamarnya di lantai tiga, mengunci pintu kamarnya, kemudian menerbangkan sepatunya, melemparkan tas yang disandangnya, menanggalkan ikatan rambutnya, dan menghempaskan badan ke tempat tidurnya. Gadis itu menangis, sesenggukan. Tersirat kebencian di dalam dadanya.

Gadis itu menyesali keadaan. Ia bukannya tak mencintai ayahnya. Ia sungguh mencintai ayahnya. Tapi, ia membenci pertengkaran. Karena itu, ia lebih senang berada di luar rumah daripada di dalam rumah. Dengan segunung aktivitas yang sengaja diburunya, ia beralasan untuk setiap hari keluar rumah. Ia keluar rumah di pagi hari dan pulang kala senja telah lewat, kadang-kadang hingga larut malam. Gadis itu merasa lebih baik melihat ayahnya tertidur pulas. Tapi bukan berarti, ia menginginkan ayahnya mati meninggalkan dirinya. Sungguh, bukan itu yang dikehendakinya. Ia masih belia, masih membutuhkan seorang ayah.

Gadis itu meronta-ronta di dalam kamarnya. Ia menggigit-gigit bantal, merobek-robek selimutnya. Tangisnya makin sesenggukan. Lalu, ia membalikkan badan hingga punggungnya berada di atas dan dadanya di bawah. Wajahnya bersimbah tangis.

Dari dalam rumah, piring-piring beterbangan diiringi tepuk tangan anak dari anak keduaku. “Mamaku hebat sekali, ia mengajarkanku mencuci piring tapi akhirnya malah mengejarku dengan piring,” gumam anaknya itu.

Aku berada di ruang baca yang terletak terpisah dari rumahku. Ruangan itu kurancang khusus untukku. Terlihat seperti perpustakaan mini tapi dilengkapi tempat tidur, sofa, televisi, dan dapur. Di belakangnya ada kebun, tempat aku menanam jagung, anggur, tomat, dan terung. Aku menyebutnya ruang kerja tapi anak-anakku menyebutnya ruang keluarga. Anak-anakku dan cucu-cucuku lebih betah berlama-lama di ruang kerjaku daripada di dalam rumahku.

Di sebelahku, anak bungsuku bermain seru dengan balitanya yang baru saja pandai mengucapkan kata ‘mama’. Tapi sayangnya, aku hanya melihat pertengkaran di antara mereka.

“Mam… mma…”

“Ci luk… ba!”

“Mam… mma…”

“Ci luk… ba!”

Dua kata itu kudengar berulang-ulang, bersahut-sahutan, dan lama-lama terdengar seperti perkelahian.

“Mam…,ma!!!”

“Cilukba!!!”

“Mam…,ma!!!”

“Cilukba!!!”

Beginilah keluargaku. Aku terlalu cinta dengan anak-anakku dan cucu-cucuku. Aku meminta mereka semua tinggal bersamaku. Awalnya mereka menolak, “Jika kami tinggal bersama, kami akan bertengkar setiap harinya,” bantah mereka. “Dan kalian akan bertengkar setiap detiknya ketika kalian sadar telah meninggalkanku di rumah besarku sementara aku telah meninggalkan nyawaku,” aku membalas bantahan mereka dengan suara rendahku. Akhirnya, mereka menurut sembari merungut.

Aku tidak peduli mendengar suara keras antara anak-anakku dengan anak-anaknya. Aku juga tidak akan marah apabila mereka mengusik rumahku dengan pertengkaran-pertengkaran sepele antara mereka. Bagiku, itu bukan masalah besar daripada aku harus kehilangan suara karena tidak mendengar suara. Hanya anak-anakku dengan anak-anaknya yang telah membuatku bernyawa dengan suara mereka.

2 thoughts on “Nyawaku Suara

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.